TAWA UNTUK BUNDA
(Karya: Zahra Hansuri)
Srek...srek... suara langkah sepatu
terdengar dari dalam rumah. Seketika aku dan yang lainnya pun bersiap di tempat
masing-masing untuk melakukan aksi yang telah kami rencanakan sebelumnya.
”Tok...tok...tok, assalamualaikum, bunda ”, teriaknya dengan malas.
Karena tak kunjung dibukakan pintu
akhirnya dia meraih gagang pintu dan tiba-tiba Surprise...teriak kami dengan serentak. Ya, hari ini adalah hari
ulang tahun adikku, Oriana Suri Laksmita. Kejutan ini sudah kami persiapkan
sejak lama. Suri pun terlihat terkejut sekaligus bahagia dalam waktu bersamaan.
“Terima kasih, ayah, bunda, abang
Chandra, abang kecil juga, Suri gak nyangka kalian sempetin buat acara hari
ini” tanpa disadari menetes air mata dari pelupuknya.
“Iya sayang, sama-sama, ini semua ide abang
Chandra” jawab ayah sambil menggendong abang kecil.
”Tahu gak perjuangan abangmu?, dia rela
bunda suruh bolak balik ke pasar buat beli coklat sama cream gara-gara bunda kelupaan beli ”kata bunda menambahi.
“Makin sayang deh sama abang, makasih
ya” goda Suri dengan manja
“Iya Suri, abang juga sayang” jawabku
sambil mencubit pipi gembulnya.
Suasana rumah menjadi ramai penuh canda
tawa serta kebahagiaan. Kami menghabiskan sore kami bersama. Kegiatan seperti
ini jarang terjadi, karena kesibukan masing-masing menyebabkan kami jarang
berkumpul.
“Bun... Chandra balik ke kosan dulu,
masih ada tugas yang belum dikerjain “ kataku sambil bersiap-siap memakai jaket.
“Kok udah balik, cepet amat, gak jamaah
di rumah dulu bang?, terus baru balik!” jawab bunda.
“Masih kurang 45 menit bun, abang bisa
sampek kosan kurang dari 30 menit dan pastinya belum ketinggalan magribnya“
kataku memaksa.
“Ya udah, hati-hati! “ ucap bunda
dengan sedikit kecewa.
Sebenarnya jarak rumah dan tempatku
kuliah tidaklah jauh, tetapi untuk meminimalisir terjadi keterlambatan aku
memutuskan ngekos di daerah sekitar kampus.
“ Abang bawa mobil aja, weekend ayah gak ada acara kok ” kata
ayah.
“ Gak usah yah, besok lusa Abang juga free jadi balik rumah” jawabku.
“ Nah, kebetulan banget gimana kalo
lusa kita jalan-jalan aja “ serbu bunda dari dapur.
“ Ih... setuju bunda” kata Suri keluar
dari kamar.
“ Kita juga kan jarang kumpul, manfaatin
waktu luang ya” tambahnya.
“Oke, lusa kita pergi ke pantai, gimana
setuju?” tanya ayah. Kami pun menyetujui agenda weekend tersebut.
Setelah itu aku berpamitan dan langsung
pergi. Sesampainya di kosan aku langsung membuka laptop dan mulai mengerjakan
tugas-tugasku. Untunglah kali ini aku tidak perlu melakukan pengamatan terlebih
dahulu. Biasanya aku harus menggunakan pisau bedah dan alat-alat laboratorium
lainnya untuk mengamati struktur manusia dan lainnya. Aku menyelesaikannya dengan
cepat dan langsung mengambil posisi tidur setelah sebelumnya menutup malamku
dengan salat witir terlebih dahulu.
Keesokan paginya seperti biasa, aku
bersiap menuju kampus dengan mengendarai sepeda motor antikku. Setelah menempuh
perjalanan kurang lebih 10 menit aku sampai di kampus kebanggaanku. Dari jauh
sudah nampak tulisan FAKULTAS KEDOKTERAN yang terpampang secara jelas. Aku
mengikuti kelasku hari ini dengan baik, alhamdullilah.
Setelah kelas berakhir aku tidak langsung pulang, aku merasa sangat lapar
untuk itu aku memberhentikan motorku di
depan kedai soto langgananku. Selera makanku bukannya selera desa tapi
aku lebih memilih makan di sini daripada di cafe
apalagi pada jam rame seperti ini . Biasanya jika ada kerja kelompok barulah
kami akan mengerjakan di cafe selain
karena tempatnya yang dingin, dan gaul buat nongkrong juga karena alasan free Wi-Fi.
Setibanya di kosan aku ingat rencana
kami untuk pergi berlibur ke pantai besok. Rumah kami letaknya jauh dari pantai
bisa dibilang di jantung kota maka dari itu untuk menghilangkan kebosanan di
kota ayah memilih pantai sebagai destinasi wisata kami besok. Tetapi menurutku masih
ada alasan lain kenapa ayah mengajak kami ke pantai apalagi kalau bukan untuk
bernostalgia. Karena dipantailah pertama kali ayah dan bunda bertemu.
Setelah itu aku langsung membereskan
semua buku dan tugas-tugas akhir semesterku. Lalu, aku mandi dan bergegas
pulang ke rumah. Ternyata di rumah bunda dan Suri sudah menyiapkan semuanya
untuk besok. Aku yakin jika ada mereka berdua semuanya akan beres. Besok bukanlah
hari Minggu tetapi hari Sabtu. Ya berlibur di hari Sabtu lebih menguntungkan
karena dapat beristirahat di hari minggunya setelah lelah berlibur. Ditambahlah
lagi dengan beberapa alasan yang meyakinkan kami besok hari yang tepat untuk
berlibur seperti, besok Suri tidak berangkat sekolah karena kebijakan SMP Suri
yang fullday schooll, kelasku yang
diliburkan karena Pak Budi dosenku cuti beberapa hari untuk pergi umroh, dan terakhir fakta bahwa PNS yang
bekerja di kantor pemerintahan seperti ayahku pun libur di hari Sabtu.
Pagi harinya kami bekerja sama mengemas
peralatan dan segala macam bekal untuk nanti. Setelah sarapan terlebih dahulu
barulah kami berangkat. Di perjalanan terjadi sedikit kendala dengan abang
kecil. Dia berkali-kali pup sehingga
kami harus berhenti untuk mencari toilet. Awalnya kami menganggap biasa saja
tetapi dengan Yasa yang menangis terus menerus membuat kami khawatir. Akhirnya
ayah pun berinisiatif menyuruhku menghentikan mobil jika ada klinik.
Setelah beberapa saat berkendara aku
menemukan sebuah klinik yang lumayan besar. Kami pun berhenti sejenak untuk
memeriksakan Yasa di sana. Sekitar 30 menit di klinik kemudian kami tetap
melanjutkan perjalanan. Dokter mengatakan bahwa abang kecil baik-baik saja
tidak perlu cemas berlebih, beliau juga sudah meramu obat untuk Yasa. Hampir 3
jam berlalu barulah kami sampai di pantai. Deburan ombak dan sengatan sinar
matahari sudah menyambut kami.
Sebelum berenang, aku dan Suri
menurunkan bekal dari mobil kemudian menyusunnya di gubuk yang telah kami sewa.
Setelah itu berganti pakaian dan siap untuk berenang di pantai.
“Abang, kita balapan yuk, dari sini
sampai sana” ajak Suri sambil menunjuk batas finish sekitar 30 meter dari tempat kami saat ini. Aku pun menyetujui ajakan Suri. Kami
bersiap di garis start.
“Bunda sama abang kecil jadi wasitnya” kata
bunda memberi semangat. Perlombaan pun dimulai, pada awalnya akulah yang
memimpin pertandingan tapi di tengah perjalanan kakiku terkena batu karang
sehingga membuat gerakanku terganggu. Akhirnya pertandingan itu dimenangkan
oleh Suri, aku harus mengaku kalah darinya mungkin lain kali aku bisa menang
melawannya.
Bukan hanya lomba renang, ayah juga
sudah membawa bola untuk bermain kucing-kucingan dalam air. Bunda dan Yasa pun
mengamati kami dari bibir pantai sambil merekam dan bersorak sorak. Keadaan
pantai saat ini lumayan ramai, tapi karena bukan libur panjang kebanyakan
pengunjungnya masyarakat lokal dan beberapa kutemui keluarga seperti kami yang
jauh-jauh datang dari kota demi menikmati pemandangan yang indah dan asri ini.
Pantai di sini bersih dan tidak tercemar polutan seperti pantai kebanyakan sehingga
pengunjung dibuat nyaman dan betah di sana.
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.05,
terdengar muazin mengalunkan azan, kami pun menghentikan aktivitas kami
sementara. Setelah itu karena waktu makan siang telah tiba kami pun makan siang
terlebih dahulu dengan bekal kami tadi kemudian dilanjut dengan salat zuhur di
masjid. Lalu, kami melanjutkan dengan berfoto bersama. Tak lupa Suri juga sudah
membawa tripod sehingga memudahkan kami untuk mengambil gambar. Ayah dan bunda
pun bercerita tentang pertemuan pertama mereka di sini. Sambil menggandeng
bunda dan di belakangnya ada aku yang menatih abang kecil dan Suri yang
berjalan di sampingku. Kami berjalan-jalan menyusuri tepian pantai bersama.
Kemudian semuanya berubah, air pantai
tiba-tiba surut padahal belum waktunya. Disusul dengan getaran dari dasar laut
yang berhasil membuat tanah-tanah yang tertutup pasir pun terbelah. Kami semua
langsung berlari menuju gubuk untuk segera pergi dan menyelamatkan diri. Tapi,
tiba-tiba ombak laut setinggi 100 meter datang menghantam kami semua. Semuanya
terasa begitu cepat aku kehilangan genggamanku dengan Yasa dan Suri. Terakhir
yang kuingat adalah pemandangan ketakutan dari semua orang dan teriakan dari
segala sudut. Aku sudah pasrah dengan semuanya, aku berharap kami bisa selamat
walaupun dalam hati kecilku, aku meyakini pasti kami tidak akan selamat tapi
itu tidak masalah jika kami tetap bisa bersama di surga.
Tubuhku terasa ringan sekali, sangat
ringan seperti melayang di ambang kematian. Aku yakin pasti sekarang aku sudah
berada di alam barzah menunggu namaku dipanggil untuk mendapat balasan sesuai
dengan apa yang kuperbuat selama ini. Tunggu, tapi aku mendengar orang
bercakap-cakap, benar aku mengenal suaranya, di mana mereka. Ah, tempat apa ini begitu terang sekali, membuatku
kesulitan untuk melihat keadaan sekitar. Batinku pun senang, ya... aku menemukan
mereka, ayah, Suri, dan abang kecil mereka terlihat bahagia. Tapi, di mana bunda,
aku tidak melihatnya. Aku pun menghampiri mereka bertiga.
“Ayah di mana bunda, dan di mana kita
sekarang?” tanyaku penuh harap. Ayah mengulum senyum, “Kita semua baik-baik
saja, bunda pun begitu, sekarang tugas abang jaga bunda di sini, ayah tahu ALLAH
itu adil jadinya tugas jaga Suri sama Yasa untuk ayah”. Bingung mendengar
perkataan ayah tadi, belum sempat aku membuka mulut untuk bertanya lagi
tiba-tiba Suri berkata,
“ Abang, baik-baik di sini ya, kami
akan selalu ada buat abang” ucapnya sambil menunjuk ke arah hati. Mereka
melambaikan tangan dan mengucapkan salam sebelum akhirnya hilang. Seperti mimpi
tapi ini terlalu nyata.
Tiba-tiba aku terbatuk lalu ketika aku membuka mata, aku
sudah berada di rumah sakit. Bingung, takut, sedih, semua perasaan itu membuat
pikiranku semakin kalut. Akhirnya ada seorang suster yang menyadari keadaanku.
Dia pun pergi memanggil dokter, setelah itu dokter datang dan memeriksaku. Dia
mengatakan aku mengalami koma selama 3 hari, dan untungnya organ vitalku tidak
bermasalah, hanya ada trauma pasca tsunami yang masih menyelimutiku.
Aku bersyukur karena ternyata ALLAH
masih memberikan kesempatan kepadaku untuk hidup dan memperbaiki kehidupanku.
Aku pun langsung teringat dengan kilasan mimpi tadi. Kemudian kubelalakkan mata
ke semua penjuru rumah sakit untuk mencari mereka. Aku pun bertanya kepada
suster di sampingku, dia mengatakan bahwa jika ingin melihat daftar pasien bisa
dilihat di papan informasi, pasien-pasien tersebut dikelompokkan berdasarkan
tempat ditemukannya dan kondisinya apakah masih hidup atau sudah menjadi
jenazah, kebanyakan dari mereka tidak memiliki identitas. Dia pun menawarkan
bantuan kepadaku tapi aku menolak dengan halus dan memilih untuk pergi sendiri.
Dengan berjalan tertatih aku pun mencari papan tersebut, aku merasa senang setelah
menemukannya.
Kubaca dengan seksama daftarnya, aku
berharap bisa menemukan nama-nama keluargaku, hasilnya nihil. Kemudian, aku
berpikir untuk mencari mereka dengan mendatangi kamar-kamar pasien satu
persatu. Dengan keadaanku sekarang mustahil aku dapat berjalan mengelilingi rumah
sakit tetapi dengan tekad yang bulat aku pun mulai mencari mereka. Perlahan tapi
pasti aku membuka tirai-tirai pasien sambil sesekali berhenti untuk memberi
jalan kepada pihak medis untuk lewat membawa korban maupun jenazah.
Pencarianku ternyata tidak sia-sia aku
dapat menemukannya, tidak... bukan mereka melainkan hanya bunda. Ya, hanya
bunda seorang aku melihatnya terbaring dengan luka di sana-sini dengan baju
yang masih sama, sepertinya bunda baru ditemukan. Aku langsung menghampirinya,
tak sanggup aku melihat sosok bunda seperti ini. Aku mencoba memanggilnya
beberapa kali dan akhirnya bunda pun membuka matanya. Sungguh lega hatiku,
kucium dan peluk dirinya. Lalu, aku memanggil dokter untuk memeriksa keadaan
bunda. Setelah itu bunda pun bertanya “Abang, bagaimana keadaanmu, dan di mana
yang lain”. Aku pun langsung menjawab “ abang baik bun, bunda juga harus
baik-baik saja ya, yang lain pasti selamat, abang akan cari mereka semua”.
Meneteslah air matanya, mendengar ucapanku tersebut, entahlah apa yang bunda
pikirkan saat itu, aku mengusap air matanya dan mulai tersenyum untuk saling
menguatkan.
Aku dan bunda di rawat di rumah sakit
daerah setempat sekitar 10 KM dari tempat kejadian. Setelah menemukan bunda aku
masih terus mencari keberadaan yang lain. Di waktu senggangku merawat bunda,
aku menyempatkan pergi untuk mencari kabar dan informasi tentang ayah dan kedua
adikku. Aku yakin waktu itu ayah membawa KTP nya , jadi ada harapan lebih banyak untuk menemukan
mereka dengan identitas itu. Tak henti aku mencari bahkan sampai ke rumah sakit
lain. Aku memang tidak mengalami cedera yang berlebihan tidak seperti bunda
yang mengalami banyak luka dan cedera di pergelangan tangan.
Bunda dirawat selama 5 hari di rumah
sakit, setelah itu kami pun pulang ke rumah. Hanya daerah pesisir pantai yang
mengalami tsunamilah yang hancur dan porak-poranda. Aku dan bunda pulang
dijemput pamanku, adik dari ayah. Sesampainya di rumah, sudah ada nenek dan
bibiku yang menunggu. Mereka mengurus bunda, dan mengantarnya ke kamar.
Sementara aku dan paman duduk di sofa ruang tamu. Kami membicarakan bencana
yang menimpa keluarga kami. Paman pun menguatkanku. 2 hari setelahnya keluarga
kami mengadakan pengajian untuk mengirim doa untuk ayah, Suri, dan Yasa. Bunda
sudah mengikhlaskan kepergian mereka, walau dengan terpaksa.
Hari-hari kulewati dengan sangat panjang.
Sepi, itulah suasana rumahku saat ini. Setelah kepergian ayah, Suri, dan abang
kecil tawa bunda pun ikut pergi bersama mereka. Aku tidak lagi tinggal di
kosan, aku memilih menemani bunda di rumah. Kegiatan bunda sehari-hari tidak
lebih dari dapur dan kamar. Bunda tetap memasak tetapi setelah itu bunda
memilih pergi ke kamar. Pekerjaan rumah tidaklah penting lagi karena tidak ada
aktivitas di rumah. Hanya percakapan ketika aku pamit untuk berangkat ke kampus
dan selebihnya tidak ada percakapan lagi seperti dulu. Aku mencoba menghibur
bunda dengan mengajaknya berjalan-jalan di sekitar kompleks, tetapi ada saja
alasan untuk menolaknya. Bertahan dengan sikap bunda yang seperti ini membuatku
hampir menyerah, tetapi aku ingat dengan pesan ayah. Aku bertekat akan menjaga
bunda bagaimana pun caranya. Aku berjanji pada diriku sendiri akan
mengembalikan senyum bunda.
2 tahun berlalu
Aku sudah menyelesaikan studiku, hari
yang ditunggu pun datang. Aku dengan sengaja tidak memberitahu bunda tentang
hari ini. Bundaku masih sama seperti dulu, walau sekarang bunda agak sering
keluar kamar untuk mengurus tanaman anggrek pemberianku. Di hari yang spesial
ini aku ingin merealisasikan janjiku. Aku sudah membuat rencana yang cukup
matang dan bagaimanapun caranya rencana ini harus berhasil.
Dua hari sebelum wisuda, nenek sudah
menginap di rumah. Aku menyuruh nenek mengajak bunda pergi ke kebun anggrek di
hari wisudaku itu, bunda pun setuju. Besoknya ketika aku sudah berangkat ke
kampus di pagi hari buta, sesuai rencana paman yang akan mengantar bunda dan
nenek. Ya, mereka pergi tapi bukan ke kebun anggrek melainkan ke acara
wisudaku. Lima belas menit sebelum acara dimulai bunda tiba di kampusku. Paman
beralasan mengambil sesuatu dari temannya, setelah paman pergi nenek pun pergi
karena ia ingin buang air kecil. Lama menunggu paman, dan nenek, akhirnya bunda
keluar mobil.
Tidak jauh dari parkiran tersebut,
terdapat aula tempat penyelenggara wisudaku, bunda pun ternyata merasa tertarik
dan melangkah masuk ke dalam aula dan di situlah ada aku.
“Bara Chandra Aryasetya, peraih nilai cumlaude sekaligus sebagai mahasiswa dan
dokter muda terbaik, berikan applause yang
meriah” ucap pembawa acara dengan semangat.
Aku berdiri di depan podium dan menerima
penghargaan itu. Bunda menatapku. Aku melihat rautnya, begitu bahagia dan
bangga. Setelah itu, aku turun dan menghampirinya, dia tertunduk, menangis
tersedu-sedu, dan bersembunyi dipunggungku. Bunda meminta maaf kepadaku karena
selama ini dia tidak pernah memperhatikanku dan menganggapku tidak ada. Bunda
masih belum bisa menerima kenyataan pahit waktu itu, bunda masih merasa berduka
sehingga mengacuhkanku, tetapi sekarang dia telah menerima dan mengikhlaskan
semuanya. Di akhir percakapan kami, bunda menciumku dan mengulas senyum manis.
Rencanaku berhasil, setelah acara selesai kami langsung pulang ke rumah. Di rumah
sudah ada bibi yang menyiapkan makanan kemudian aku, bunda, paman, serta bibi makan
bersama. Di sesi makan bersama bunda sudah bisa tertawa mendengar candaan
paman.
Akhirnya aku bisa merasakan hari tanpa
sepi lagi, kukembalikan senyum dan tawa bundaku. Ayah, Suri, Yasa... aku sudah
menepati janjiku kepada kalian, aku sudah membawa tawa bunda kembali. Aku yakin
kalian semua juga tersenyum bahagia melihat kami di sini.
TAMAT
Ini lah contoh cerpen yang bertemakan bunda. Banyak banget nilai-nilai yang dapet kita ambil dari cerpen diatas. So, jangan lupa buat comment, karena comment dari kalian itu sangat membantu bagi penulis yang masih amatiran ini hehehe....
0 komentar:
Post a Comment