Friday, 16 November 2018

Cerpen bertemakan keluarga




TAWA UNTUK BUNDA
(Karya: Zahra Hansuri)

Srek...srek... suara langkah sepatu terdengar dari dalam rumah. Seketika aku dan yang lainnya pun bersiap di tempat masing-masing untuk melakukan aksi yang telah kami rencanakan sebelumnya.
”Tok...tok...tok, assalamualaikum, bunda ”, teriaknya dengan malas.
Karena tak kunjung dibukakan pintu akhirnya dia meraih gagang pintu dan tiba-tiba Surprise...teriak kami dengan serentak. Ya, hari ini adalah hari ulang tahun adikku, Oriana Suri Laksmita. Kejutan ini sudah kami persiapkan sejak lama. Suri pun terlihat terkejut sekaligus bahagia dalam waktu bersamaan.
            “Terima kasih, ayah, bunda, abang Chandra, abang kecil juga, Suri gak nyangka kalian sempetin buat acara hari ini” tanpa disadari menetes air mata dari pelupuknya.
“Iya sayang, sama-sama, ini semua ide abang Chandra” jawab ayah sambil menggendong abang kecil.
”Tahu gak perjuangan abangmu?, dia rela bunda suruh bolak balik ke pasar buat beli coklat sama cream gara-gara bunda kelupaan beli ”kata bunda menambahi.
“Makin sayang deh sama abang, makasih ya” goda Suri dengan manja
“Iya Suri, abang juga sayang” jawabku sambil mencubit pipi gembulnya.
Suasana rumah menjadi ramai penuh canda tawa serta kebahagiaan. Kami menghabiskan sore kami bersama. Kegiatan seperti ini jarang terjadi, karena kesibukan masing-masing menyebabkan kami jarang berkumpul.
“Bun... Chandra balik ke kosan dulu, masih ada tugas yang belum dikerjain “ kataku sambil bersiap-siap memakai  jaket.
“Kok udah balik, cepet amat, gak jamaah di rumah dulu bang?, terus baru balik!” jawab bunda.
“Masih kurang 45 menit bun, abang bisa sampek kosan kurang dari 30 menit dan pastinya belum ketinggalan magribnya“ kataku memaksa.
“Ya udah, hati-hati! “ ucap bunda dengan sedikit kecewa.
Sebenarnya jarak rumah dan tempatku kuliah tidaklah jauh, tetapi untuk meminimalisir terjadi keterlambatan aku memutuskan ngekos di daerah sekitar kampus.
“ Abang bawa mobil aja, weekend ayah gak ada acara kok ” kata ayah.
“ Gak usah yah, besok lusa Abang juga free jadi balik rumah” jawabku.
“ Nah, kebetulan banget gimana kalo lusa kita jalan-jalan aja “ serbu bunda dari dapur.
“ Ih... setuju bunda” kata Suri keluar dari kamar.
“ Kita juga kan jarang kumpul, manfaatin waktu luang ya” tambahnya.
“Oke, lusa kita pergi ke pantai, gimana setuju?” tanya ayah. Kami pun menyetujui agenda weekend tersebut.
Setelah itu aku berpamitan dan langsung pergi. Sesampainya di kosan aku langsung membuka laptop dan mulai mengerjakan tugas-tugasku. Untunglah kali ini aku tidak perlu melakukan pengamatan terlebih dahulu. Biasanya aku harus menggunakan pisau bedah dan alat-alat laboratorium lainnya untuk mengamati struktur manusia dan lainnya. Aku menyelesaikannya dengan cepat dan langsung mengambil posisi tidur setelah sebelumnya menutup malamku dengan salat witir terlebih dahulu.
Keesokan paginya seperti biasa, aku bersiap menuju kampus dengan mengendarai sepeda motor antikku. Setelah menempuh perjalanan kurang lebih 10 menit aku sampai di kampus kebanggaanku. Dari jauh sudah nampak tulisan FAKULTAS KEDOKTERAN yang terpampang secara jelas. Aku mengikuti kelasku hari ini dengan baik, alhamdullilah. Setelah kelas berakhir aku tidak langsung pulang, aku merasa sangat lapar untuk itu aku memberhentikan motorku di  depan kedai soto langgananku. Selera makanku bukannya selera desa tapi aku lebih memilih makan di sini daripada di cafe apalagi pada jam rame seperti ini . Biasanya jika ada kerja kelompok barulah kami akan mengerjakan di cafe selain karena tempatnya yang dingin, dan gaul buat nongkrong juga karena alasan free Wi-Fi.
Setibanya di kosan aku ingat rencana kami untuk pergi berlibur ke pantai besok. Rumah kami letaknya jauh dari pantai bisa dibilang di jantung kota maka dari itu untuk menghilangkan kebosanan di kota ayah memilih pantai sebagai destinasi wisata kami besok. Tetapi menurutku masih ada alasan lain kenapa ayah mengajak kami ke pantai apalagi kalau bukan untuk bernostalgia. Karena dipantailah pertama kali ayah dan bunda bertemu.
Setelah itu aku langsung membereskan semua buku dan tugas-tugas akhir semesterku. Lalu, aku mandi dan bergegas pulang ke rumah. Ternyata di rumah bunda dan Suri sudah menyiapkan semuanya untuk besok. Aku yakin jika ada mereka berdua semuanya akan beres. Besok bukanlah hari Minggu tetapi hari Sabtu. Ya berlibur di hari Sabtu lebih menguntungkan karena dapat beristirahat di hari minggunya setelah lelah berlibur. Ditambahlah lagi dengan beberapa alasan yang meyakinkan kami besok hari yang tepat untuk berlibur seperti, besok Suri tidak berangkat sekolah karena kebijakan SMP Suri yang fullday schooll, kelasku yang diliburkan karena Pak Budi dosenku cuti beberapa hari untuk pergi umroh, dan terakhir fakta bahwa PNS yang bekerja di kantor pemerintahan seperti ayahku pun libur di hari Sabtu.
Pagi harinya kami bekerja sama mengemas peralatan dan segala macam bekal untuk nanti. Setelah sarapan terlebih dahulu barulah kami berangkat. Di perjalanan terjadi sedikit kendala dengan abang kecil. Dia berkali-kali pup sehingga kami harus berhenti untuk mencari toilet. Awalnya kami menganggap biasa saja tetapi dengan Yasa yang menangis terus menerus membuat kami khawatir. Akhirnya ayah pun berinisiatif menyuruhku menghentikan mobil  jika ada klinik.
Setelah beberapa saat berkendara aku menemukan sebuah klinik yang lumayan besar. Kami pun berhenti sejenak untuk memeriksakan Yasa di sana. Sekitar 30 menit di klinik kemudian kami tetap melanjutkan perjalanan. Dokter mengatakan bahwa abang kecil baik-baik saja tidak perlu cemas berlebih, beliau juga sudah meramu obat untuk Yasa. Hampir 3 jam berlalu barulah kami sampai di pantai. Deburan ombak dan sengatan sinar matahari sudah menyambut kami.
Sebelum berenang, aku dan Suri menurunkan bekal dari mobil kemudian menyusunnya di gubuk yang telah kami sewa. Setelah itu berganti pakaian dan siap untuk berenang di pantai.
“Abang, kita balapan yuk, dari sini sampai sana” ajak Suri sambil menunjuk batas finish sekitar 30 meter dari tempat kami saat ini. Aku pun menyetujui ajakan Suri. Kami bersiap di garis start.
“Bunda sama abang kecil jadi wasitnya” kata bunda memberi semangat. Perlombaan pun dimulai, pada awalnya akulah yang memimpin pertandingan tapi di tengah perjalanan kakiku terkena batu karang sehingga membuat gerakanku terganggu. Akhirnya pertandingan itu dimenangkan oleh Suri, aku harus mengaku kalah darinya mungkin lain kali aku bisa menang melawannya.
Bukan hanya lomba renang, ayah juga sudah membawa bola untuk bermain kucing-kucingan dalam air. Bunda dan Yasa pun mengamati kami dari bibir pantai sambil merekam dan bersorak sorak. Keadaan pantai saat ini lumayan ramai, tapi karena bukan libur panjang kebanyakan pengunjungnya masyarakat lokal dan beberapa kutemui keluarga seperti kami yang jauh-jauh datang dari kota demi menikmati pemandangan yang indah dan asri ini. Pantai di sini bersih dan tidak tercemar polutan seperti pantai kebanyakan sehingga pengunjung dibuat nyaman dan betah di sana.
           
Waktu sudah menunjukkan pukul 12.05, terdengar muazin mengalunkan azan, kami pun menghentikan aktivitas kami sementara. Setelah itu karena waktu makan siang telah tiba kami pun makan siang terlebih dahulu dengan bekal kami tadi kemudian dilanjut dengan salat zuhur di masjid. Lalu, kami melanjutkan dengan berfoto bersama. Tak lupa Suri juga sudah membawa tripod sehingga memudahkan kami untuk mengambil gambar. Ayah dan bunda pun bercerita tentang pertemuan pertama mereka di sini. Sambil menggandeng bunda dan di belakangnya ada aku yang menatih abang kecil dan Suri yang berjalan di sampingku. Kami berjalan-jalan menyusuri tepian pantai bersama.
Kemudian semuanya berubah, air pantai tiba-tiba surut padahal belum waktunya. Disusul dengan getaran dari dasar laut yang berhasil membuat tanah-tanah yang tertutup pasir pun terbelah. Kami semua langsung berlari menuju gubuk untuk segera pergi dan menyelamatkan diri. Tapi, tiba-tiba ombak laut setinggi 100 meter datang menghantam kami semua. Semuanya terasa begitu cepat aku kehilangan genggamanku dengan Yasa dan Suri. Terakhir yang kuingat adalah pemandangan ketakutan dari semua orang dan teriakan dari segala sudut. Aku sudah pasrah dengan semuanya, aku berharap kami bisa selamat walaupun dalam hati kecilku, aku meyakini pasti kami tidak akan selamat tapi itu tidak masalah jika kami tetap bisa bersama di surga.
Tubuhku terasa ringan sekali, sangat ringan seperti melayang di ambang kematian. Aku yakin pasti sekarang aku sudah berada di alam barzah menunggu namaku dipanggil untuk mendapat balasan sesuai dengan apa yang kuperbuat selama ini. Tunggu, tapi aku mendengar orang bercakap-cakap, benar aku mengenal suaranya, di mana mereka. Ah, tempat  apa ini begitu terang sekali, membuatku kesulitan untuk melihat keadaan sekitar. Batinku pun senang, ya... aku menemukan mereka, ayah, Suri, dan abang kecil mereka terlihat bahagia. Tapi, di mana bunda, aku tidak melihatnya. Aku pun menghampiri mereka bertiga.
“Ayah di mana bunda, dan di mana kita sekarang?” tanyaku penuh harap. Ayah mengulum senyum, “Kita semua baik-baik saja, bunda pun begitu, sekarang tugas abang jaga bunda di sini, ayah tahu ALLAH itu adil jadinya tugas jaga Suri sama Yasa untuk ayah”. Bingung mendengar perkataan ayah tadi, belum sempat aku membuka mulut untuk bertanya lagi tiba-tiba Suri berkata,
“ Abang, baik-baik di sini ya, kami akan selalu ada buat abang” ucapnya sambil menunjuk ke arah hati. Mereka melambaikan tangan dan mengucapkan salam sebelum akhirnya hilang. Seperti mimpi tapi ini terlalu nyata.
Tiba-tiba aku terbatuk lalu ketika aku membuka mata, aku sudah berada di rumah sakit. Bingung, takut, sedih, semua perasaan itu membuat pikiranku semakin kalut. Akhirnya ada seorang suster yang menyadari keadaanku. Dia pun pergi memanggil dokter, setelah itu dokter datang dan memeriksaku. Dia mengatakan aku mengalami koma selama 3 hari, dan untungnya organ vitalku tidak bermasalah, hanya ada trauma pasca tsunami yang masih menyelimutiku.
Aku bersyukur karena ternyata ALLAH masih memberikan kesempatan kepadaku untuk hidup dan memperbaiki kehidupanku. Aku pun langsung teringat dengan kilasan mimpi tadi. Kemudian kubelalakkan mata ke semua penjuru rumah sakit untuk mencari mereka. Aku pun bertanya kepada suster di sampingku, dia mengatakan bahwa jika ingin melihat daftar pasien bisa dilihat di papan informasi, pasien-pasien tersebut dikelompokkan berdasarkan tempat ditemukannya dan kondisinya apakah masih hidup atau sudah menjadi jenazah, kebanyakan dari mereka tidak memiliki identitas. Dia pun menawarkan bantuan kepadaku tapi aku menolak dengan halus dan memilih untuk pergi sendiri. Dengan berjalan tertatih aku pun mencari papan tersebut, aku merasa senang setelah menemukannya.
Kubaca dengan seksama daftarnya, aku berharap bisa menemukan nama-nama keluargaku, hasilnya nihil. Kemudian, aku berpikir untuk mencari mereka dengan mendatangi kamar-kamar pasien satu persatu. Dengan keadaanku sekarang mustahil aku dapat berjalan mengelilingi rumah sakit tetapi dengan tekad yang bulat aku pun mulai mencari mereka. Perlahan tapi pasti aku membuka tirai-tirai pasien sambil sesekali berhenti untuk memberi jalan kepada pihak medis untuk lewat membawa korban maupun jenazah.
Pencarianku ternyata tidak sia-sia aku dapat menemukannya, tidak... bukan mereka melainkan hanya bunda. Ya, hanya bunda seorang aku melihatnya terbaring dengan luka di sana-sini dengan baju yang masih sama, sepertinya bunda baru ditemukan. Aku langsung menghampirinya, tak sanggup aku melihat sosok bunda seperti ini. Aku mencoba memanggilnya beberapa kali dan akhirnya bunda pun membuka matanya. Sungguh lega hatiku, kucium dan peluk dirinya. Lalu, aku memanggil dokter untuk memeriksa keadaan bunda. Setelah itu bunda pun bertanya “Abang, bagaimana keadaanmu, dan di mana yang lain”. Aku pun langsung menjawab “ abang baik bun, bunda juga harus baik-baik saja ya, yang lain pasti selamat, abang akan cari mereka semua”. Meneteslah air matanya, mendengar ucapanku tersebut, entahlah apa yang bunda pikirkan saat itu, aku mengusap air matanya dan mulai tersenyum untuk saling menguatkan.
Aku dan bunda di rawat di rumah sakit daerah setempat sekitar 10 KM dari tempat kejadian. Setelah menemukan bunda aku masih terus mencari keberadaan yang lain. Di waktu senggangku merawat bunda, aku menyempatkan pergi untuk mencari kabar dan informasi tentang ayah dan kedua adikku. Aku yakin waktu itu ayah membawa KTP nya , jadi  ada harapan lebih banyak untuk menemukan mereka dengan identitas itu. Tak henti aku mencari bahkan sampai ke rumah sakit lain. Aku memang tidak mengalami cedera yang berlebihan tidak seperti bunda yang mengalami banyak luka dan cedera di pergelangan tangan.     
Bunda dirawat selama 5 hari di rumah sakit, setelah itu kami pun pulang ke rumah. Hanya daerah pesisir pantai yang mengalami tsunamilah yang hancur dan porak-poranda. Aku dan bunda pulang dijemput pamanku, adik dari ayah. Sesampainya di rumah, sudah ada nenek dan bibiku yang menunggu. Mereka mengurus bunda, dan mengantarnya ke kamar. Sementara aku dan paman duduk di sofa ruang tamu. Kami membicarakan bencana yang menimpa keluarga kami. Paman pun menguatkanku. 2 hari setelahnya keluarga kami mengadakan pengajian untuk mengirim doa untuk ayah, Suri, dan Yasa. Bunda sudah mengikhlaskan kepergian mereka, walau dengan terpaksa.
Hari-hari kulewati dengan sangat panjang. Sepi, itulah suasana rumahku saat ini. Setelah kepergian ayah, Suri, dan abang kecil tawa bunda pun ikut pergi bersama mereka. Aku tidak lagi tinggal di kosan, aku memilih menemani bunda di rumah. Kegiatan bunda sehari-hari tidak lebih dari dapur dan kamar. Bunda tetap memasak tetapi setelah itu bunda memilih pergi ke kamar. Pekerjaan rumah tidaklah penting lagi karena tidak ada aktivitas di rumah. Hanya percakapan ketika aku pamit untuk berangkat ke kampus dan selebihnya tidak ada percakapan lagi seperti dulu. Aku mencoba menghibur bunda dengan mengajaknya berjalan-jalan di sekitar kompleks, tetapi ada saja alasan untuk menolaknya. Bertahan dengan sikap bunda yang seperti ini membuatku hampir menyerah, tetapi aku ingat dengan pesan ayah. Aku bertekat akan menjaga bunda bagaimana pun caranya. Aku berjanji pada diriku sendiri akan mengembalikan senyum bunda.

2 tahun berlalu
Aku sudah menyelesaikan studiku, hari yang ditunggu pun datang. Aku dengan sengaja tidak memberitahu bunda tentang hari ini. Bundaku masih sama seperti dulu, walau sekarang bunda agak sering keluar kamar untuk mengurus tanaman anggrek pemberianku. Di hari yang spesial ini aku ingin merealisasikan janjiku. Aku sudah membuat rencana yang cukup matang dan bagaimanapun caranya rencana ini harus berhasil.
Dua hari sebelum wisuda, nenek sudah menginap di rumah. Aku menyuruh nenek mengajak bunda pergi ke kebun anggrek di hari wisudaku itu, bunda pun setuju. Besoknya ketika aku sudah berangkat ke kampus di pagi hari buta, sesuai rencana paman yang akan mengantar bunda dan nenek. Ya, mereka pergi tapi bukan ke kebun anggrek melainkan ke acara wisudaku. Lima belas menit sebelum acara dimulai bunda tiba di kampusku. Paman beralasan mengambil sesuatu dari temannya, setelah paman pergi nenek pun pergi karena ia ingin buang air kecil. Lama menunggu paman, dan nenek, akhirnya bunda keluar mobil.
Tidak jauh dari parkiran tersebut, terdapat aula tempat penyelenggara wisudaku, bunda pun ternyata merasa tertarik dan melangkah masuk ke dalam aula dan di situlah ada aku.
“Bara Chandra Aryasetya, peraih nilai cumlaude sekaligus sebagai mahasiswa dan dokter muda terbaik, berikan applause yang meriah” ucap pembawa acara dengan semangat.
Aku berdiri di depan podium dan menerima penghargaan itu. Bunda menatapku. Aku melihat rautnya, begitu bahagia dan bangga. Setelah itu, aku turun dan menghampirinya, dia tertunduk, menangis tersedu-sedu, dan bersembunyi dipunggungku. Bunda meminta maaf kepadaku karena selama ini dia tidak pernah memperhatikanku dan menganggapku tidak ada. Bunda masih belum bisa menerima kenyataan pahit waktu itu, bunda masih merasa berduka sehingga mengacuhkanku, tetapi sekarang dia telah menerima dan mengikhlaskan semuanya. Di akhir percakapan kami, bunda menciumku dan mengulas senyum manis. Rencanaku berhasil, setelah acara selesai kami langsung pulang ke rumah. Di rumah sudah ada bibi yang menyiapkan makanan kemudian aku, bunda, paman, serta bibi makan bersama. Di sesi makan bersama bunda sudah bisa tertawa mendengar candaan paman.
Akhirnya aku bisa merasakan hari tanpa sepi lagi, kukembalikan senyum dan tawa bundaku. Ayah, Suri, Yasa... aku sudah menepati janjiku kepada kalian, aku sudah membawa tawa bunda kembali. Aku yakin kalian semua juga tersenyum bahagia melihat kami di sini.

TAMAT

Ini lah contoh cerpen yang bertemakan bunda. Banyak banget nilai-nilai yang dapet kita ambil dari cerpen diatas. So, jangan lupa buat comment, karena comment dari kalian itu sangat membantu bagi penulis yang masih amatiran ini hehehe....










0 komentar:

Post a Comment