Friday, 16 November 2018

Cerpen bertemakan agama


Karya: Dilla Vrisca Ivanti
Hujan




          Terlalu pagi untuk mengawali semuanya. Jam masih menunjukan angka lima, namun Geighi sudah bersiap untuk pergi ke sekolah. Pita-pita kecil berwarna merah yang telah dibentuk, tertempel apik di jilbab putihnya. kalung yang terbuat dari puluhan permen dari rasa dan merk yang berbeda menggantung di leher, tas kardus yang terbungkus kertas kado bertengger di bahu dan yang terakhir adalah sepatu dan kaos kaki yang berbeda warna telah terpasang di kakinya.
          “Biar kak Rio yang anter kamu, liat tuh di luar masih gelep. Mana kondisi hujan.” Sang mama tercinta tak tega melihat putri semata wayangnya pergi sendiri ke sekolah di waktu matahari saja belum berganti tugas dengan bulan.
 “Enggak boleh. Kata kakak kelas harus pergi sendiri. Mulai belajar mandiri. Masa udah SMA masih dianterin.”
 “Biar kakak anter aja dek. Toh kakak kelas kamu enggak akan tahu.” Bujukan itu dilontarkan saat sang adik bersikeras menolak.                                                                              
“kakak kelas Geighi memang enggak akan tahu, tapi Allah Maha Tahu.” Mamanya langsung diam, tidak merayu lagi saat Geighi menyebutkan tentang Allah.                              
“Geighi berangkat dulu. Assalamualaikum.” Geighi mencium pipi dan punggung tangan mamanya, dan tak lupa mencium punggung tangan kakaknya.                                                  
“beneran kamu gak mau dianterin, nanti kalau di jalan ada yang ngira kamu gila. Terus kamu diangkut ke rumah sakit jiwa gimana?” Rio masih terus merayu adik tercintanya.  
“ihh kak Rio, do’anya jelek,” Geighi melotot marah. Mencubit kesal tangan kakaknya sambil berlalu pergi ke sekolah.
          Geisha Ghania Izora, biasa  dipanggil Geighi. Lahir di Bogor 27 Januari 2002. Ibunya seorang dokter disalah satu rumah sakit di Bogor, sedangkan sang ayah adalah seorang TNI angkatan darat. Memiliki seorang kakak yang umurnya empat tahun di atasnya, kini kakaknya tercatat sebagai mahasiswa di IPB,falkutas Ekologi Manusia. Geighi memiliki ciri fisik yang enak dipandang. Tingginya 160 cm dengan berat 50 kg. Kulitnya putih bersih khas wanita sunda dan memiliki dua lesung pipit yang sangat manis.
          Geighi turun dari angkot tepat di depan gerbang sekolah barunya, SMA Nusa Cendekia dan langsung disambut oleh kakak OSIS,                                                                                    
“Selamat subuh menjelang pagi” sapa kakak OSIS yang bername tag Farah Putri.                                                         
“Selamat pagi kak.” Jawab Geighi dengan senyum manisnya.                                                       
“jangan lupa isi lembar absen yang ada atas meja guru ya.” Kata kakak kelas itu.
Geighi mengangguk patuh, lalu berpamitan untuk pergi ke kelasnya. Sesampainya di kelas, Geighi mengisi absen seperti yang diperintahkan kakak kelasnya tadi. Assalamualaikum Ucap Geighi saat memasuki kelas  dia tertidur? Tapi kenapa dia belum menulis namanya di absen? Gumam Geighi, kemudian dia mengisi absen di kolom kedua, karena kolom pertama bukan tempatnya, namun tempat untuk orang yang kini tengah tertidur di bangku paling belakang. Kemudian Geighi duduk di bangku paling depan dan melanjutkan hafalan Al-Qur’an yang sempat tertunda.
          Jam tujuh tepat, dua orang pengurus OSIS memasuki kelas dan memeriksa lembar absen.
 “ada yang belum mengisi absen?” hening  
“Yang belum mengisi absen, maju ke depan!” suara bising mendominasi kelas, mereka saling bertatapan satu sama lain.              
“baiklah, saya panggil satu persatu, yang dipanggil namanya harap angkat tangan.” Seisi kelas kompak mengangguk.                                                                                                                   
“...........”  satu persatu nama sudah disebutkan, kakak kelas bername tag Yazid Al Farruk melangkah menuju bangku paling belakang.                                                                                 
“kamu maju ke depan!” Perintah itu diberikan kepada seorang pria yang sibuk menguap. Tanpa melawan, si murid maju ke depan. Saat dia berdiri di depan kelas, beberapa murid perempuan menahan nafas, mereka tidak menyangka kalau yang sedari tadi menelungkupkan kepalanya adalah Revan Narendra Herland. Pemenang Olimpiade Matematika Tingkat SMP di Beijing dan dia mendapatkan nilai Ujian Nasional tertinggi tingkat SMP se-Indonesia.  gila, aslinya lebih ganteng dari yang gue lihat di koran. celetuk berberapa cewek yang terkagum-kagum melihat Revan.
          Revan Narendra Herland, lahir di Jakarta 11 Januari 2002. Anak tunggal dari keluarga Herland. Ayahnya seorang dosen di salah satu Universitas terkemuka di Jakarta, sedangkan ibunya seorang mantan model. Ciri fisik Revan, dapat dikatakan nyaris sempurna, perpaduan darah Jawa dan darah Jerman membuat Revan menjadi rupawan. Tingginya 170 cm, badannya tegap, alisnya hitam tebal, matanya cokelat terang, hidungnya mancung, tulang rahangnya tegas, kulitnya putih pucat. Tapi jangan bayangkan vampire di film Twilight, karena kulit Revan tidak sepucat itu.                                  
          Masa PLS sudah selesai, sekarang mereka sudah resmi menjadi murid SMA Nusa Cendekia. Lantas mereka sangat bahagia, karena terlepas dari kakak OSIS yang terkenal galak dalam masa PLS. Namun, hari ini merupakan hari yang buruk untuk Geighi, karena dia datang kesiangan sehingga tidak mendapatkan bangku yang strategis. Al hasil, Geighi tidak ada pilihan lagi, dia harus duduk sebangku dengan Revan di bangku paling depan. Yang berjarak satu langkah dari meja guru, dan akan dijadikan sasaran empuk oleh perhatian guru.
          Waktu berlalu begitu cepat, tak dirasa mereka sudah satu tahun bersekolah di Nusa Cendekia, dan selama dua semester ini. Revan mendapatkan peringkat pertama di kelas, sedangkan Geighi mendapatkan pringkat kedua.                                                     
“Revan, Dika aku ke masjid dulu yah. Kalo kamu mau ke kantin, duluan aja. Nada, Nenden. Ayo shalat duha dulu” Kata Geighi. Dan hanya mendapatkan gelengan dari kedua temannya itu. Hati Geighi teriris-iris saat ajakan shalatnya ditolak lalu dia tersenyum kecut menanggapi sikap Nada dan Nenden.                                                                                                  
“Yaudah. Gue ke kantin duluan. Lo hati-hati ya Ghi” Geighi hanya tersenyum dan menggangguk. Kemudian dia berlari meninggalkan teman-temannya menuju masjid. Revan memperhatikan ujung kerudung putih milik Geighi yang tertiup angin. Revan menghela nafas panjang. Sepertinya sulit baginya untuk bisa dekat dengan Geighi. Ada jarak  tidak kasat mata yang menjulang tinggi diantara keduannya.
          Di kelas sebelas ini, Revan terpilih menjadi ketua OSIS SMA Nusa Cendekia. Sebenarnya dia tidak berniat menerima tawaran Marchel, mantan ketua OSIS terdahulu  untuk menjadi kandidat ketua OSIS. Namun, karena dorongan dari Geighi, akhirnya dia menyetujui tawaran tersebut. Revan dan Geighi sangat akrab, mereka sering belajar bersama di rumah Geighi. Sehingga, keluarga Geighi sangat mengenal Revan. Apalagi saat mengetahui bahwa Revan sering kerumahnya untuk mempelajari islam dari Rio. Maka dari itu, kedekatan mereka menjadi bahan gosip di SMA Nusa Cendekia. Dan membuat Geighi merasa tidak nyaman dengan rumor-rumor tersebut.
          Karena hal itu, Geighi mulai berfikir untuk menjauhi Revan. Dia takut kepada Allah akan perasaan yang seharusnya tidak ada dalam benaknya itu. Hingga Revan sadar dengan perubahan Geighi kepadanya.                                                                                                                                
“Ghi, lo marah sama gue? Tapi bukannya di agama lo, sifat pemarah itu gak baik?”                 
“aku gak marah van” jawab Geighi sambil menunduk.                                                                      
“terus kenapa lo gak bawain nasi goreng buatan mama lo lagi Ghi? Terus kenapa lo sekarang sering ngehindarin gue Ghi?” Revan terus bertanya. Sedangkan Geighi hanya terdiam, karena dia tidak ingin berbohong.                                                                           
“yaudah deh, gue minta maaf. Kalo gue salah.” Kata Revan memasang mimik muka sedih yang dibuat-buat.                                                                               
“Revan. Jangan peduliin aku.” Diam. Semenjak kejadian itu, tidak ada lagi obrolan diantara keduanya.
          Buk....buk....buk.... suara pantulan bola basket terdengar remang-remang akibat hujan yang turun pagi ini. Dan membuat Geighi penasaran siapa yang memainkan bola basket saat hujan. Geighi kemudian mengintip dari jendela kamarnya Revan? gumam Geighi yang langsung mengambil krudung di atas kursi lalu dipakainya.                
“REVAN! JANGAN HUJAN-HUJANAN KAMU BISA SAKIT!” Teriak Geighi, berharap suaranya dapat mengalahkan derasnya suara air hujan.                                                                
“TENANG AIR HUJAN ENGGAK BAKAL BIKIN GUE SAKIT!”  jawab Revan berteriak “Namun, air hujan inilah yang bikin sakit hati gue berkurang” lanjutnya pelan. Geighi langsung berlari menuju ke dapur untuk menemui kakaknya.
 “Kak Rio kok izinin Revan hujan-hujanan sih?” omel Geighi ke kakaknya.                        
“kakak udah larang. Sebelum Mama papa pergi juga udah dilarang, tapi dia tetep ngeyel. Kayanya dia ada masalah. Habisnya semalem pas dia dateng ke sini mukanya keruh banget. Kaya sungai ciliwung. Udah sekitar dua jam dia hujan-hujanan Ghi” Dua jam? Hujan-hujanan? Revan bener-bener gila. Gumam Geigi yang  langsung berlari menuju Revan.
 “Revan berhenti!” Teriak Geighi.                                                                                                    
“udah Ghi, jangan peduliin gue.” Geighi merasa bersalah, kalimat itu adalah kalimat yang pernah dia ucapkan kepada Revan. Tanpa memperdulikan hujan, Geighi mendekati Revan,
 “Maafin aku kalau aku pernah bikin kamu sakit hati, Van.” Ucap Gighi.                           
“Aku Cinta kamu, Geisha Ghania Izora” kata Revan dengan nada sendu.
 DEG... Tubuh Geighi otomatis mundur beberapa langkah. Matanya mengerjap bingung. Apa yang barusan dia dengar?
Revan mencintainya?
 Geighi mengatakan maaf, namun kenapa Revan membalasnya dengan kata cinta?      
          Semenjak kejadian itu hubungan Geighi dan Revan sedikit merenggang. Namun karena Revan mengatakan bahwa dia akan melupakan Geighi, maka Geighi mulai bersikap seperti semula. Walaupun kadang kalimat aku cinta kamu masih membuat Geighi bergidik ngeri dan takut.                                                                                                               
“Ghi, bilangin ke Revan. liqo’ hari ini jam tiga bukan jam lima.” Kata Rio,                                     
“Revan masih suka ikut liqo’  kak? Gimana perkembangan dia kak?” tanya Geighi.              
“lumayan banyak. Otak Revan encer banget. Dia cepet nangkep kalo dijelasin tentang agama kita. Bahkan dia sudah hafal berberapa hadis. Tapi sayangnya dia masih ragu dengan hatinya.” Jelas Rio. Geighi menghela nafas panjang, dan wajahnya langsung mendung.
 “Udah Ghi, enggak papa. Kuasa Allah itu hebat. Doakan saja hati Revan terbuka. Temen kakak ada yang ikut liqo’ selama lima tahun dia baru mau jadi mualaf” jelas Rio.  
“ll...lima tahun kak?” tanya Gighi gugup.                                                                                                                                  
“Iya lima tahun. Doakan yang terbaik buat dia Ghi. Sekarang kamu jangan nutupin sesuatu dari kakak, Kamu suka kan sama Revan?” tubuh Geighi membeku, tangisnya pecah. Dia sangat takut dengan perasaan itu.                                                                                                         
“udah gak papa Ghi, wajar anak seusiamu merasakan hal itu. Tapi, tolong kendalikan perasaan itu, hingga tidak ada satupun setan yang mengetahui rasa itu. Cukup minta dia kepada Allah disetiap do’a mu.” Geighi hanya mengangguk di tengah isak tangisnya.
          Revan duduk melamun memandang kertas ulangan sejarah yang terdapat angka 4 di kertas bagian kanan pojok atas. Sedangkan Geighi tidak berhenti menyebut istighfar karena nilai matematikanya terlihat memprihatinkan.                                                                      
“Revannnn. Lihat nilai matematikaku yang butuh pertolongan.” Adu Geighi sambil menunjukan kertas ulangan matematikanya yang mendapatkan nilai 6. Revan diam saja, matanya hanya melirik kertas ulangan Geighi dan kembali melamun karena nilainya.   
“Revan, kok kamu diem aja sih? Nilai aku jelek.” Rajuk Geighi, kemudian dia melirik lembar kertas ulangan matematika milik Revan dan berdecak kagum.                                    
“Revan, nilai matematikamu sempurna. Lihat deh nilaiku Van.”                                                  
“Ghi, nilai sejarah gue lebih memprihatinkan daripada nilai matematika lo.” Kata Revan sambil menunjukan nilai sejarahnya. Geighi tertawa geli, baru kali ini Revan mendapatkan nilai di bawah 8. Hal ini dikarenakan minggu lalu Revan tidak masuk kelas karena harus mengurus kegiatan OSIS yang tidak dapat ditunda.                                                                                    
“tapi aku Cuma dapet nilai 6 Van. Dan itu sangat memprihatinkan,” adu Geighi lesu. 
“Ghi, sekarang gue tanya ke elo. Nilai matematika berapa?”                                                                       “enam.”  
“nilai sejarah gue berapa?”                                                                                                                        “empat.”                                                                                                                                                                “enam sama empat besaran mana?”                                                                                                             “enam”                                                                                                                                                            
“yang dapet nilai enam siapa?”                            “aku”                                                                                                                                                                  
“yang dapet nilai empat siapa?”                                                                                                            
“kamu.” Jawab Geighi sambil tersenyum melihat raut muka Revan yang memelas.          
“jadi di sini, gue yang patut dikasihani bukan elo, Ghi.”  Kata Revan, kemudian menelungkupkan kepalanya.
Revan mendudukan tubuhnya di atas teras masjid. Matanya memandang langit-langit yang dihiasi bulan dan bintang. Materi liqo’ yang baru dia dengarkan tadi, kembali berputar di kepalanya. Tepukan pelan di bahu Revan menyadarkannya dari lamunan.
“Gimana? Setelah mendengar kisah mualaf Dokter Barga lo masih ragu Van?” tanya Candra, satu-satunya orang yang tahu tentang keraguan Revan untuk masuk Islam adalah rasa cintanya kepada Geighi. Ya, Revan ragu masuk islam karena dia merasa kalau keinginannya masuk islam bukan sepenuhnya dia tertarik pada islam namun keinginan itu datang karena dia mencintai Geighi.                                                                                           
“Tidak ada yang salah kalo lo masuk islam karena rasa cinta lo ke Geighi. Yang salah itu kalo lo gak mau belajar mencintai Tuhan yang udah nyiptain hamba-Nya. Gue yakin, bukan rasa cinta lo yang bikin lo ragu. Keraguan yang lo rasain itu berasal dari setan. Selama satu tahun ini, lo terus memperlajari islam bukan karena Geighi, namun karena lo memang tertarik dengan islam. Gue berani bilang ini karena lo gak pernah nunjukin pengetahuan lo tentang islam di depan Geighi. Bukan begitu? Hidayah bukan ditunggu, melainkan dijemput. Gue berharap kita bisa mrnjadi saudara dalam naungan yang sama” Candra berdiri untuk mengumandangkan adzan shalat isya. Sedangkan Revan mengusap wajahnya gusar.                                                                                                                        
          Geighi menghamparkan sajadahnya. Dengan khusyuk dia mulai melaksanakan shalat isya yang disetiap sujudnya dia menyebut nama Revan.                                                    Ya Allah... kau yang maha tau apa yang tersimpan di dalam hatiku. Maaf Ya Allah... Maafkan aku yang telah jatuh cinta padanya. Tumbuhkanlah rasa cinta ini di hatinya. Hilangkanlah keraguan yang menyelimuti hatinya. Bila rasa cinta ini salah, aku mohon tolong hapuslah rasa cinta ini dar hatiku Ya Allah.                                                                           Tangis Geighi pecah. Salahkah yang dia pinta? Dia tersungkur dalam tangisnya. Kenapa dia merasakan cinta yang sedalam ini kepada Revan? Kenapa?                                                  
“Geighi” suara Rio bersahutan dengan suara ketukan pintu. Geighi menyeka sisa-sisa tangisnya, masih menggunakan mukena, dia membuka pintu.                                                   
“sudah pulang? Revan mana?” bukannya menjawab, Rio malah memeluk Geighi, “Ghi”     
“kakak kenapa meluk aku? Revan mana?” Rio mengecup kening Geighi.                                
“selepas shalat isya... selepas shalat isya Revan..Revan telah mengucapkan dua kalimat syahadat, Ghi” tubuh Geighi seketika membeku.                                                                              
“Revan telah menjadi mualaf, Ghi” Geighi terkulai lemas. Kakinya tak mampu berdiri, andai Rio tak memeluknya, dia pasti jatuh tersungkur di lantai. Tangisnya tak mampu dibendung. Beribu kata syukur memenuhi hatinya. Terimakasih Ya Allah. Terimakasih.  
“Assalamualaikum Geighi” Geighi mendongakkan wajahnya, menatap Revan yang baru saja mengucapkan salam padanya.                                                                                                          
Wa..waalaikumsalam,” jawab Geighi disela isak tangisnya. Sungguh dia merasa bahagia.
          Revan melangkahkan kakinya menuju masjid saat shalat isya telah selesai. Ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Dadanya sesak lidahnya kelu dan tenggorokannya terasa kering. Dia menyatakan bahwa dia sudah yakin untuk menjadi saudara seiman dengan mereka. Kemudian imam masjid menuntun Revan untuk mengucapkan dua kalimat syahadat yang disaksikan jamaah masjid Ar-Rahman. “Asyhadu an laa ilaaha illallah wa asyhadu anna Muhammadar Rasulullah” Revan tidak mampu menahan tangisnya. Ia menangis tergugu dalam pelukan Rio. Sesak dan beban yang mengganjal di hatinya langsung sirna dan digantikan oleh perasaan bahagia.
          Di perjalanan pulang, Revan mengusap wajahnya. Dia akan memberi tahu keluarganya karena mereka berhak tau tentang keyakinannya sekarang. Sesampainya di rumah, Revan mengucapkan salam untuk bi Inah, AST di rumahnya. Bi Inah kaget dan tersenyum penuh arti dengan tuan mudanya itu. Revan langsung menuju kamar mama dan papanya sembari membawa baskom berisi air hangat dan handuk kecil. Diketuklah pintu kamar mamanya,
“Ma, Pa. Revan boleh masuk?” tanya Revan dengan senyuman.                                
“tumben izin dulu. Tentu boleh sayang, sini. Ada apa sayang?” tanya mamanya lembut.
“Ma, Revan sayang mama,” kata Revan sambil memeluk mamanya. Mama dan Papa Revan saling berpandangan. Mengisyaratkan ada apa?.
“Mama tau, Revan sayang mama. Apa ada sesuatu? Bicaralah sayang.” Mama dan Papa Revan tahu kebiasaan anak tunggalnya ini, jika ada yang ingin dia sampaikan atau sesuatu yang dia minta, maka dia akan bersikap sangat manis. Revan mengangguk seraya tersenyum kepada papanya dan menuntun mamanya untuk duduk di sofa.
“Mama duduk yah” Dengan lembut, Revan menyuruh mamanya untuk duduk di atas sofa, sedangkan dia duduk di bawah tepat di dekat kaki mamanya.
“kenapa kamu duduk di bawah?”
“karena Revan ingin menyentuh kaki mama.” Revan tersenyum. Mama Revan menatap putranya dengan pandangan terkejut,
“ka..kamu kee..kenapa?”tanya mamanya dengan suara parau.
“karena surga Revan ada di bawah telapak kaki mama,” ucap Revan, walaupun sekarang mereka berbeda agama. Namun surga Revan tetap berada di bawah telapak kaki mamanya. Dia harus tetap menjaga dan menyayangi mamanya.
“Re..Revan..ka..kamu? ap..apa ka..kamu?” Mama Revan cepat-cepat menggelengkan kepalanya. Mengerti dengan ucapan mamanya yang patah-patah. Revan menganggukan kepalanya dan tersenyum lembut.
“Maafkan Revan Mahh Pahh.. ini pilihan Revan.” jawab Revan masih dengan senyumannya.
Mama Revan langsung berdiri, dia menatap Revan dengan pandangan kecewa, “sejak kapan? Sejak kapan kamu...” Mama Revan tidak sanggup lagi melanjutkan kata-katanya, hatinya terasa begitu sesak, seluruh anggota tubuhnya mati rasa. “kenapa kamu melakukan itu Revan?”
          Revan beranjak dari duduknya untuk meraih tangan mamanya. Plak.. Namun yang Revan dapatkan sebuah tamparan di pipi kirinya.
“jangan tinggalin mama Revan. Apa salah mama sama kamu? Kenapa kamu melakukan ini” luruh mama Revan di lantai. Revan memeluk tubuh mamanya yang bergetar.
“Mama enggak ngelakuin salah apapun sama Revan. Revan enggak akan ninggalin mama dalam keadaan apapun. Walaupun mama yang nyuruh Revan pergi, Revan gak akan pergi dari mama. Revan selalu sayang sama” kata Revan yang diakhiri dengan kecupan manis di puncuk kepala mamanya.
          Revan berdiri untuk menghampiri papanya. belum sempat Revan berbicara, Herland, menyeret Revan keluar dari kamarnya. Dengan suara tertatih, Revan berkali-kali mengucapkan kata maaf untuk papanya. Revan juga mendapatkan satu tamparan lagi dari papanya. Dengan sesenggukan Mama Revan terus memohon pada Revan “Mama mohon Revan, kembalilah. Ke..kembali. Jangan khianati Mama Revan!” Mendengar permohonan Mamanya, Revan hanya tersenyum dan menggeleng kecil sampai pintu kamar dibanting keras olah papanya.
          Ketua OSIS SMA Nusa Cendekia, tampan, cerdas dan pintar. Empat kategori bergensi disandang langsung oleh seorang Revan. Maka tak heran, kabar sekecil apapun tentang Revan dalam hitungan detik akan menyebar luas. Dari kalangan guru-guru, penjaga sekolah, bahkan langganan siomay milik Geighi pun tahu jika Revan telah masuk islam saat banyak orang yang melihat Revan mengikuti jamaah shalat dzuhur di sekolahnya. Melihat kejadian itu, banyak murid yang mengucapkan alhamdulilah. Bahkan siswi-siswi SMA Nuski pun banyak yang mengharapkan Revan sebagai imamnya. Namun lain halnya dengan Dika, sahabat Revan dari SMP. Saat Revan tiba di kelas, Revan langsung ditonjok oleh Dika.
“sialan lo Van!” emosi Dika meluap. Tak henti-henti menonjok Revan, namun Revan tak ingin melawan temannya ini sampai ketua kelas memisahkan mereka.
“lo kenapa Dik?” tanya Revan baik-baik.
“lo yang kenapa Van?! Cuma karena cewek sok suci itu, lo sampe ngehianati kami! Lo buat Mama lo nangis, lo buat kelurga lo kecewa Van!” bentak Dika ” Cuma karena lo jatuh cinta sama cewek sialan itu, lo sampe pindah keyakinan Van? Van, dia gak peduli tentang perasaan lo ke dia. Lo pinter, tapi lo begok.” Lanjut Dika pelan, tepat di samping telinga Revan. Kemudian dia meludah di hadapan Revan dan pergi dengan memicingkan mata tanda menghina Revan.
          Revan kecewa, dia kira Dika satu-satunya sahabatnya akan mendukung keputusannya. Namun sebaliknya, dia malah sangat membenci Revan. Tak jauh dari Revan duduk, terdengar Nada dan Nenden berlari mencarinya. 
“Van! Gawat. Geighi di tarik sama Dika ke aula. Kita ngikutin sampe aula. Tapi Dika melototi kami sampe matanya mau keluar. Ngeri. Kek Limbad Van!” adu Nenden, karena Nada sibuk mengatur nafasnya yang tersengal-sengal. Tanpa babibu, Revan langsung berlari menuju aula sekolahan, yang jaraknya cukup memakan waktu lama. Karena gedung sekolah Revan sangat luas.
“heh lo! Lo jampi-jampi apa si Revan, sampe dia ngehianati kita?! Ini gara-gara lo! Andai Revan gak jatuh cinta sama lo, dia bakal ngehianatin kita!” bentak Dika tepat di hadapan Geighi yang menunduk ketakutan. Dika menyeramkan saat marah, padahal baru kemarin dia bercanda gurau dengan Dika, namun sekarang dia berubah jadi monster yang siap menerkam. Sungguh Allah pandai membolak-balikan hati manusia.
“aku gak ngapa-ngapain Revan. Keputusan Revan itu karena hidayah dari Allah. Bukan karena aku, apalagi jampi-jampi.” Jawab Geighi menahan rasa takutnya. Dika menonjok dinding tepat di sebelah Geighi untuk meluapkan emosinya sampai buku-buku tangannya memerah, sedangkan Geighi terkejut bukan main. Ingin sekali dia encaci maki Geighi, namun lidahnya kelu tenggorokannya tercekat. “Arrgghhhh” raung Dika.
“Masih ada yang mau kamu tanyakan?”tanya Geighi kemudian Dika menunduk dan duduk lemas di lantai.
“kalau begitu, aku keluar. Bentar lagi bel masuk” kata Geighi sambil pergi dari aula.
“Ghi, lo gapapa? Dika ngapain lo?” tanya Revan saat baru mau menaiki tangga aula.
“aku gapapa Van dia Cuma tanya alesan kamu mualaf. Aku jawab karena Allah. Benar kan Van, kamu mualaf karena Allah?” tanya Geighi yang mendapatkan anggukan serta senyuman yang manis dari Revan, jika kebanyakan wanita akan terpukau. Namun berbanding balik dengan Geighi yang langsung beristighfar.
          Sudah 2 bulan Revan di usir dari rumahnya dia tinggal di apartemen milik Nino, kakak sepupu Revan, satu-satunya keluarga Herland yang masih menyayanginya. Revan  sering mengirim paket bunga mawar kesukaan Mamanya dan mengingatkan Mamanya untuk menjaga kesehatannya. hal itu Revan lakukan agar Mamanya masih bisa merasakan sayang Revan. Revan benar-benar dikucilkan oleh keluarganya. Semenjak kejadian itu, Revan juga bersikap dingin kepada Geighi dan teman-teman lainnya. Di waktu jam kosong atau istirahat, Revan hanya menghabiskan waktunya di masjid dan menghafalkan ayat suci Al Quran. Dia memang sudah mengambil keputusan itu sebelum mualaf, dia dikucilkan keluarganya, maka dia akan mengucilkan diri dari lingkungan sekitar.
          Geighi juga terdiam pasrah saat melihat nilai matematikanya, tidak akan mengadu pada Revan, karena Geighi tau, Revan menjauhinya. Jarak diantara keduanya sudah sangat jauh. Revan yang sudah mengenal agama itupun tidak berani mendekati Geighi jika tanpa alasan yang akurat, bahkan saat sudah ada alasan yang akurat, Revan pun masih menghindarinya. Berbanding balik dengan dulu, dulu Revan gencar sekali mendekati Geighi, namun sekarang tidak!. Satu hal yang Geighi tidak tahu, perassan Revan kepadanya masih sama.
          “kok adik kakak murung?” tanya Rio saat Geighi membaca novel, namun pandangannya kosong. Lebih tepatnya melamun.
“karena Revan ya?” Tepat! Geighi langsung menengok Rio dan mengangguk lesu.
“udah sewajarnya kalian jaga jarak, dulu kalia terlalu dekat.”
“kakak tau kenapa Revan jauhin aku?” tanya Geighi
“tidak banyak. Nanti biar Revan sendiri yang menjelaskannya” Jawab Rio. Geighi masih ingin terus bertanya, namun mengingat sifat kakaknya yang amanah, Geighi urungkan niatnya itu.
          Revan tak pernah berhenti memohon kepada Allah untuk membuka hati kedua orang tuanya, dan tak lupa dia menyebut nama Geighi dalam doanya. Setelah melaksanakan shalat, Revan duduk menyendiri di kantin. Dia memandangi kartu peserta olimpiade matematika yang bertuliskan 08, mengingatkan tentang olimpiade yang selalu ia ikuti. Namun tahun ini berbeda, tidak ada Geighi di sampingnya apalagi Mama dan Papanya. Revan menghela nafas panjang, berharap dia berhasil memenangkan olimpiade ini lagi walau tanpa orang yang ia kasihi.
          Revan terkejut bukan main, keringat dingin menyucur di dahinya. Berharap semuanya akan baik-baik aja, Papanya datang di lokasi Revan lomba dengan raut muka yang tidak dapat dibaca olehnya. Sedangkan Mama Revan datang dengan mata sembab. Apa yang terjadi ya Allah? Tanya Revan dalam hati. Papa Revan berjalan setengah lari untuk menghampiri Revan, Revan menunduk sedikit takut dan buk... Revan terkejut bukan main, papanya, papanya memeluknya. Revan rindu pelukan dari papanya.
“Maafin papa sayang, maafin papa yang udah jahat sama kamu” Revan menangus dalam pelukan papanya, dia bersyukur kepada Allah telah kembalikan keluarganya.
“maafin papa yang enggak ngehargai keputusan kamu, papa sayang kamu. Kembali ke rumah ya sayang” ajak papanya sembari menghapus sisa-sisa tangis Revan, belum sempat Revan menjawab, mama sudah membawanya ke dalam pelukannya. Sungguh Revan sangat berterimakasih kepada Allah, apa yang dikatakan Geighi benar saat Revan baru diusir oleh papanya Revan sabar ya. Allah tidak akan menguji umatnya melewati batas kemampuan umat tersebut. Pasti kamu bisa Revan. Saat mamanya mengurai pelukannya, Revan tak sengaja melihat Geighi sedang berjalan ke arahnya dengan tersenyum. Revan berpamitan ke orang tuanya untuk menghampiri Geighi sebentar.
“Geisha, terimakasih ya buat semuanya.” Geighi tersentak, Revan memanggilnya dengan sebutan Geisha. Akhirnya Geighi hanya tersenyum kaku.
“Geisha Ghania, gue minta ke elo buat jaga diri lo sampai gue dateng buat jemput lo suatu saat nanti.” Lanjut Revan dengan nada serius. Jantung Geighi bergetar hebat, ia tau apa maksud Revan. Geighi lantas mengangguk dan tersenyum manis, sangat manis.
          Revan dan Geighi hanya saling mendoakan satu sama lain. Saling meminta kepada Rabb-Nya dalam waktu sepertiga malamnya hingga mereka benar-benar dipertemukan oleh ikatan suci pernikahan.
Contoh cerpen yang bertemakan agama. terima kasih sudah membaca semoga bermanfaat...
happy weekend:)

0 komentar:

Post a Comment